Jumat, 04 Januari 2013

Luar biasa memang kondisi fisik para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Saritem, Bandung. Konon, mereka sanggup melayani lima pelanggan setiap malamnya. Rata-rata setiap tamu yang datang akan dilayani selama 60 menit.
“Hampir setiap malam saya melayani hingga lima orang tamu. Kadang-kadang, tiga laki-laki kalau lagi sepi,” kata Yesy (14)—bukan nama sebenarnya, salah satu PSK termuda asal Cicalengka, Kabupaten Bandung, dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Yesy mengaku dibanderol majikannya seharga Rp 250 ribu untuk satu kali kencan. “Dari uang itu, nantinya dibagi tiga, pertama majikan saya, kedua saya, dan ketiga calo, itu juga kalau tamunya diantar sama calo,” kata Yesy.
Yesy beserta para PSK lainnya mengaku senang saat akhir pekan tiba. Menurutnya, pada saat itulah, para PSK bisa melayani tamu lebih banyak dari hari-hari biasanya. “Kalau malam minggu, saya bisa melayani tamu lebih banyak, lebih dari lima orang tamu. Otomatis penghasilan pun meningkat berlipat-lipat,” ujar Yesy.
Biasanya, setelah malam harinya bekerja, para PSK beramai-ramai melakukan sarapan pagi sebelum beristirahat untuk persiapan tenaga di malam selanjutnya.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, Saritem merupakan salah satu lokalisasi yang namanya terdengar hingga ke kota-kota lain, layaknya Doly di Surabaya atau Sarkem (Pasar Kembang) di Yogyakarta. Lokasi Saritem berada di Jalan Saritem, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir.
Menurut Yadin (76), yang mengaku mengetahui banyak tentang sejarah Kota Bandung, Saritem sudah dibuka sejak zaman penjajahan Jepang. “Tempat pelacuran di Saritem memang dari zaman Jepang juga sudah ada,” kata Yadin saat ditemui kediamannya.
Hal tersebut dibenarkan Ece (28), salah satu calo pekerja seks komersial (PSK) Saritem yang juga sebagai warga di kawasan tersebut. Sepengetahuannya, area prostitusi di Saritem sudah dibuka sejak 1942. “Wah, sudah lama sekali, sejak saya belum lahir juga sudah mulai dibuka,” kata Ece.
Konon, kata Ece, Saritem dijadikan lokalisasi bagi para serdadu Jepang. Para PSK kala itu berjejer, dipajang dengan menggunakan kebaya di setiap rumah. Kebanyakan PSK tersebut didatangkan dari desa-desa dengan cara ditipu atau dipaksa meski ada pula yang menawarkan diri secara terang-terangan. “Saritem dulu menjadi suguhan untuk kolonial Jepang, kemungkinan orang Jepang sendiri yang mendirikan dan mengelolanya,” kata Ece.
Sejak saat itu hingga sekarang, area prostitusi Saritem tak pernah sepi pengunjung. Selalu saja ada lelaki hidung belang yang “jajan” di sana. Terlebih lagi jika hari libur panjang atau weekend, banyak sekali kendaraan roda dua dan empat terparkir di area prostitusi yang bisa dibilang terletak di tengah-tengah Kota Bandung ini.
“Setiap harinya, selalu saja ada yang datang, tak pernah sepi. Setiap wanita bisa melayani tamu 2-3 laki-laki kalau lagi sepi. Khusus untuk hari libur, yang datang banyak sekali. Wanita bisa melayani tamu 5 hingga belasan kali per malam,” katanya.
Dia menyebutkan, saat ini jumlah PSK di Saritem mencapai 625 orang di 52 rumah. Masing-masing rumah ditempati 6-9 orang PSK. Kebanyakan PSK didatangkan dari Indramayu, 75 persennya berasal dari kota tersebut. “Jumlah tersebut akan berubah, bahkan jadi bertambah. Kita punya channel khusus untuk mendatangkan wanita-wanita yang akan bekerja di sini,” ujar Ece.
Pekerja seks komersial (PSK) di Bandung yang beroperasi di Jalan Saritem, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Andir, Bandung, Jawa Barat, mengaku bisa mengantongi uang hingga Rp 7 juta sebulan, bahkan lebih.
“Ya, kisaran segitu. Tapi, tergantung kerja kita dan berapa banderol kita. Besar kecil gaji kita tergantung seberapa banyak kita main dengan tamu,” kata salah satu PSK Saritem, Yesy—bukan nama sebenarnya, saat makan siang di salah satu warung tegal di Jalan Saritem, belum lama ini.
Meski terbilang PSK yunior, Yesy mengaku betah melakoni pekerjaan haramnya itu. Sebab, dengan menjadi PSK penghasilannya bisa “membeludak” hebat, tidak seperti karyawan atau pekerja pada umumnya. “Paling besar tak terhingga, bahkan bisa nyampe puluhan juta per bulan. Apalagi kalau pasaran harga kita tinggi, bisa membeludak penghasilan kita,” kata Yesy.
Yesy mengaku, untuk masing-masing PSK ada banderol harga tersendiri. Kebijakan penentuan harga itu ditentukan oleh sang majikan, tergantung dengan “kualitasnya”. Yesy sendiri mengaku dibanderol seharga Rp 250.000. Sementara di Saritem ada macam-macam harga, mulai dari Rp 150.000 hingga jutaan rupiah untuk tiap 60 menit.
Belum lagi biaya sewa kamar Rp 30.000-Rp 50.000, dan biaya membeli minuman seperti bir. “Dari uang itu nantinya dibagi tiga, pertama majikan saya, kedua saya, dan ketiga calo, itu juga kalau tamunya diantar sama calo. Kecuali uang bir hanya masuk ke kantong sang majikan saja,” kata Yesy.
Lalu, masih ada uang tips dari para hidung belang. Karenanya, sebisa mungkin, si PSK harus bisa memuaskan pelanggannya karena mereka umumnya berharap mendapatkan tips tambahan. “Keseringan dikasih tips Rp 100.000. Ada yang kasih lebih ada juga yang enggak ngasih sama sekali,” ungkap Yesy.

1 komentar:

Sample Text

Follow Us on Facebook



JOIN WITH US

Popular Posts